Problematika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Trasansaksi Elektronik Terhadap Kelangsungan Demokrasi di Indonesia
Oleh : Muhammad Rizki Ramadhani, S.H
Ketua Umum PC IMM Djazman Al Kindi Kota Yogyakarta

Pemerintah Indonesia di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah melakukan pembuatan produk Undang-Undang yang banyak, tidak terkecuali dalam masa pemerintahannya melakukan pembuatan produk Undang-Undang baru yang belum pernah ada pada era sebelumnya. Produk Undang-Undang yang dibuat di masa pemerintahan SBY ini mengatur terkait dengan pembatasan dalam dunia informasi dan transaksi secara elektronik dengan inovasi baru Undang-Undang ini mengatur mengenai aturan dalam dunia elektronik di Indonesia. Pembentukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diharapkan mampu menjadi solusi dari berbagai permasalahan yang belum ada aturan yang mengatur mengenai permasalahan tersebut terutama di dunia maya. Alasan fundamental yang melatarbelakangi dibentuknya Undang-Undang ini adalah banyaknya kejahatan di Indonesia pada saat itu terutama yang dilakukan dalam bidang ekonomi dan informasi elektronik seperti penipuan transaksi secara online, jual beli online, maraknya penipuan dan penghinaan, serta pencemaran nama baik yang dilakukan dengan media online.
Kedua, alasan yang membuat dibentuknya Undang-Undang ini adalah untuk meminimalisir bentuk penghinaan atau pencemaran nama baik yang dilakukan secara masif dan terang-terangan kepada pemerintah atau anggota dewan beserta lembaga negara lainnya. Hingga pemerintah dengan maksud untuk mencegah segala bentuk penipuan transaksi secara online dan meminimalisir segala bentuk penghinaan dan pencemaran nama baik, pemerintah mengundangkan Undang-Undang ITE tersebut.
Kendati demikian maksud dan tujuan Undang-Undang tersebut dibuat dengan itikad yang baik, akan tetapi jika kita mengacu kepada Undang-Undang Dasar tepatnya termuat dalam pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengutarakan pendapat, maka Undang-Undang ITE ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Jika kita analisa lebih jauh secara interpreasi gramatikal, maka Undang-Undang ini kontradiksi dengan yang termuat dalam pasal tersebut tepatnya pada diksi kebebasan mengeluarkan pendapat yang bisa menjadi momok dalam kehidupan demokrasi bangsa Indonesia. Secara hakikatnya negara demokrasi adalah bentuk suatu negara yang pemerintahannya mengaminkan adanya kebebasan berkumpul, berserikat serta mengemukakan pendapat. Melihat fenomena tersebut sama halnya seperti yang penulis sangkakan bahwasanya dalam konteks Undang-Undang ini dibuat ada indikasi pemerintah untuk membatasi ruang-ruang demokrasi yang ada di Indonesia yang juga sudah dijamin secara konstitusional oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai aturan tertinggi dari peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang mengatur tentang kebebasan berkumpul, berserikat dan mengemukakan pendapat secara lisan maupun tulisan. Mengacu pendapat dari Abraham Lincoln demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam pemerintahan yang demokratis maka rakyat mempunyai kebebasan yang luas termasuk dalam mengemukakan pendapat baik lisan atau tulisan. Demokrasi sudah lama kita kenal sejak pemerintahan Yunani kuno tepatnya di Athena selama era Filsuf Sokrates hidup. Pada era tersebut demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dipakai bangsa Yunani dalam menjalankan roda pemerintahannya dengan suara terbanyak yang dipakai dalam pengambilan keputusan, bahkan sampai hukuman mati yang diterima oleh Sokrates merupakan bentuk pengambilan keputusan secara demokrasi dengan suara terbanyak karena diduga Sokrates memberikan ajaran yang sesat pada pemuda Yunani pada era tersebut dan dianggap meracuni kaum muda Yunani untuk menentang adanya mitologi dewa-dewi, membantah kaum Sofis yang berpandangan kebenaran adalah milik setiap pendapat satu orang saja, walau pada hakikatnya ajaran Sokrates adalah yang benar tetapi dianggap keliru dalam kurun waktu itu.
Perkembangan demokrasi mengalami kemajuan pesat di setiap zaman, hal ini tak lepas dari Indonesia yang menjadi negara demokrasi pasca lengsernya pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Soeharto selama kurang lebih 32 tahun. Setelah peristiwa reformasi pada tahun 1998 mulai bermunculan tokoh demokrat di Indonesia yang menginginkan Indonesia menggunakan sistem demokrasi dalam sistem pemerintahannya. Pada tahun 2004 adalah momen pertama kali Indonesia menerapkan sistem demokrasi dalam menentukan pemimpinnya dengan diselenggarakannya pemilihan umum yang pertama kalinya secara demokratis dengan melibatkan seluruh rakyat untuk memilih pemimpinnya baik lembaga eksekutif atau legislatif yaitu pemilihan presiden dan DPR. Seperti yang kita ketahui bersama hingga akhirnya terpilihlah Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden pada pemilihan umum tersebut.
Fase kurun waktu periode pertama yaitu tepatnya pada tahun 2004-2009 pemerintahan SBY banyak sekali membuat produk Undang-undang tak terkecuali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang masih eksis sampai era Pemerintahan Jokowi saat ini. Produk hukum yang dibuat ini menurut penulis adalah produk hukum ortodoks yang didapat dari konfigurasi politik yang demokrasi. Tak pelak dalam konfigurasi politik yang demokrasi tidak selalu melahirkan produk hukum yang responsif tetapi bisa saja ortodoks sama halnya dengan Undang-Undang ITE ini.
Sudah penulis sedikit uraikan di bagian latar belakang bahwa sejatinya jika kita mengacu pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tepatnya terdapat dalam pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengutarakan pendapat, maka produk Undang-Undang ITE ini mendistorsi amanah Undang-Undang Dasar tersebut yang memuat tentang kebebasan mengemukakan pendapat. Meskipun dalam pertimbanganya pembuatan Undang-Undang ITE ini bermaksud menghindari kejahatan-kejahatan yang dilakukan secara online tetapi dalam sisi yang lain mengatur tentang pembatasan ruang-ruang dalam berekspresi serta mengemukakan pendapat baik lisan atau tulisan. Penulis sangat menyayangkan dengan diberlakukannya Undang-Undang ini karena ada potensi dari pemerintah untuk melakukan tindakan kriminalisasi dengan tafsir UU ITE mengenai pendapat-pendapatnya yang barangkali pendapat tersebut dilakukan agak vulgar dan tajam. Dari sisi kehidupan demokrasi di Indonesia Undang-Undang ITE ini seperti menutup akses bagi para aktivis, jurnalis, wartawan dalam melakukan kontrol sosial yang dilakukan barangkali dengan kritik yang tajam terhadap pemerintahan atau lembaga negara lainnya yang penulis takutkan nantinya muncul potensi kriminalisasi dengan pemidanaan dengan dalih melanggar Undang-Undang ITE
Mengacu dalam Undang-Undang ITE belum dijelaskan secara komperhensif apa saja yang dimaksud penghinaan, apa saja perkataan yang termasuk dalam kategori penghinaan yang dilarang, apa saja diksi yang memuat unsur pencemaran nama baik, apa saja indikator-indikatornya, ucapan, umpatan, kata-kata seperti apa yang memuat unsur pidana belum dimaksud dan dijelaskan secara lengkap, sehingga hal ini menimbulkan kekhwatiran adanya potensi untuk membungkam suara-suara rakyat dan menjadi potensi meredupnya nilai-nilai esensi dari demokrasi. Contoh bahaya diberlakukannya Undang-Undang ITE adalah kita refleksi dalam kasus Prita Mulyasari yang diduga melakukan pencemaran nama baik lewat internet sehingga harus berurusan kepada Rumah Sakit Omni Internasional, padahal dalam UU konsumen diatur mengenai diperbolehkannya melakukan keluhan mengenai ketidakpuasan pelayanan publik, ini menjadi ancaman karena tumpang tindih antara UU ITE dengan UU konsumen yang didominasi UU ITE.
Terdapat beberapa pasal-pasal karet dalam UU ITE ini antara lain terdapat dalam pasal 27, pasal 28, dan pasal 29 yang dapat menimbulkan potensi ancaman bagi orang-orang yang kritis seperti aktivis mahasiswa, jurnalis, wartawan bahkan oposisi pemerintahan dengan lontaran kritik tajamnya. Mengacu dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal ini memuat aturan penghinaan dan pencemaran nama baik lewat media maya yang dapat berpotensi untuk digunakan untuk menuntut secara pidana utamanya bagi seseorang yang melakukan kritik keras atau tajam tetapi lawannya mungkin tidak terima, sehingga akan sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi kita.
Pada pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian berpotensi untuk melakukan represifitas bagi agama minoritas yang melakukan kritik tajam terhadap pemerintah dan kepolisian. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan, pada pasal ini ditakutkan adanya potensi pemidanaan bagi orang yang ingin lapor kepada polisi. Oleh karena itu penulis dapat simpulkan Produk UU ITE ini merupakan produk hukum ortodoks karena mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia. Dengan adanya UU ITE ini sama halnya denan melakukan tindakan represif secara halus terhadap orang-orang yang punya kritik-kritik tajam kepada pemerintah karena ada ancaman untuk dapat dipidana, padahal idealnya dalam negara demokrasi tidak dibenarkan adanya penghalang-halangan bentuk kreativitas dari warga masyarakat dan diperbolehkannya melakukan kritik-kritik tajam terhadap pemerintahan sebagai kontrol sosial kepada lembaga supra struktur demi kesehatan demokrasi dan mencegah tindakan sewenang-wenang pemerintah.
Indonesia adalah negara yang besar dengan beragam suku dan budaya beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam kurun waktu pasca reformasi tahun 1998 Indonesia sudah berbenah dan terus melakukan perbaikan terhadap Undang-Undang yang dirasa sudah tidak relevan diperbaharui, kemudian mulai bermunculan produk-produk Undang-Undang yang baru tak pelak dibentuknya UUU ITE pada tahun 2008 di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Berkaitan dengan diundangkannya UU ITE cukup banyak respon yamg diberikan warga masyarakat karena terdapat pasal-pasal yang berpotensi menjadi pasal karet diantaranya pasal 27 ayat (3) UU ITE yang dirasa mengebiri sikap-sikap kritis terhadap pemerintahan, padahal dalam Undang-Undang dasar pada pasal 28 E ayat (3) sudah diatur dengan jelas kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat adalah jaminan mutlak yang melindungi budaya demokrasi bamgsa Indonesia. Oleh karena itu penulis perlu sampaikan perlunya revisi UU ITE ini terutama pada pasal-pasal karet yang sudah penulis sampaikan dalam pembahasan agar tercipta kenyamanan dalam iklim demokrasi kita serta tidak mengurangi atau melakukan pembatasan kepada orang-orang yang mempunyai sumbangsih tajam dalam melakukan kritik kepada pemerintah demi tujuan menjaga kesehatan demokrasi bangsa Indonesia yang kita cintai.