Oleh : Muhammad Rizki Ramadhani, S.H
Ketua Umum PC IMM Djazman Al Kindi Kota Yogyakarta
Dunia olahraga sepakbola Indonesia tengah dirundung duka pilu yang mendalam pasca tragedi kericuhan yang terjadi pada hari Sabtu, tanggal 1 Oktober 2022 bertempat di stadion Kanjuruan Malang dalam laga derbi Jawa Timur yang mempertemukan dua rival abadi antara Arema dan Persebaya dalam lanjutan laga BRI Liga 1. Dalam laga tersebut sempat menyajikan pertandingan seru antara kedua tim dengan hasil akhir skor 3-2 untuk kemenangan tim tamu Persebaya Surabaya. Ironisnya setelah laga usai terjadinya kericuhan yang dilakukan oleh suporter Aremania hingga berujung masuk ke dalam lapangan. Merespon situasi tersebut aparat keamanan berusaha untuk melerai suporter yang masuk ke dalam lapangan. Banyaknya suporter yang merangsak masuk ke dalam lapangan menyebabkan aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton dengan maksud mengkondisikan keributan, akan tetapi tembakkan gas air mata tersebut menimbulkan kegaduhan karena banyaknya suporter yang kalang kabut berlari untuk keluar sampai terjadinya desak-desakan yang menyebabkan sesak mafas hingga ada yang pingsan dan terinjak-injak. Padahal sudah diatur oleh FIFA bahwa aparat keamanan sudah dilarang membawa senjata gas air mata sebagai pengaman lapangan, dalam dimensi hukum kami mendesak Kapolri untuk menindaklanjuti mengenai hal ini karena kontradiksi dengan aturan yang diatur oleh FIFA.
Berdasarkan keterangan dari Menkopolhukam Mahfud MD, korban jiwa tersebut bukan berasal dari bentrokan kedua suporter melainkan terjadinya desak-desakan sehingga menyebabkan sesak nafas dan banyak yang terinjak-injak yang menyebabkan sampai meninggal dunia. Dilanjutkan keterangan dari Menko PMK Muhajir Effendy, total korban tragedi di stadion Kanjuruan Malang sebanyak 448 orang, terdiri dari masing-masing sebanyak 323 korban luka-luka dan 125 orang meninggal dunia di Kanjuruan, pernyataan tersebut disampaikan Muhajir pasca rapat koordinasi di Pendopo Panji, Kepanjang, Malang, dilansir dari detik Jatim, Senin (3/10/2022). Mengacu kepada jumlah korban tersebut Indonesia adalah negara ketiga terbanyak yang memakan korban jiwa dalam sepak bola setelah Peru dan Ghana.
Mengacu dalam ilmu hukum ada istilah Das Sollen dan Das Sein. Das Sollen menjelaskan bagaimana seharusnya hukum itu sedangkan Das Sein berbicara hukum itu seaslinya dalam realita nyata. Dapat penulis konklusikan bagaimana Das Sollen pada tragedi kanjuruan Malang ini seharusnya pertandingan olahraga (sepakbola) seharusnya dijadikan sebgai ajang olahraga dan hiburan dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai sportifitas di dalamnya, tetapi dalam realita lapangan Das Sein di sini jelas terlihat bagaimana realita dalam stadion Kanjuruan Malang di mana sangat jauh dari harapan karena dalam pertandingan tersebut malah menimbulkan kericuhan dan banyak menimbulkan korban jiwa sampai ratusan orang meninggal akibat tragedi tersebut. Dalam kacamata yuridis hal ini sangat ironis sekali karena hakikat Das Sollen tersebut tidak dapat dicapai.
Mengacu dalam aturan Federasi Sepakbola Internnasional (FIFA) yang menjelaskan larangan membawa senjata gas air mata dalam mengamankan pertandingan yang tertuang dalam pasal 19 b tentang petugas penjaga keamanan lapangan.
Penulis juga menyoroti mengutuk keras tindakan represifitas aparat keamanan yang bertindak kurang bijaksana dalam beberapa proses pengamanan, oleh karenanya penulis menuntut agar aparat keamanan lebih bisa bertindak secara preventif menjahui tindakan represifitas yang kian hari membuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan serta menuntut diberikannya hukuman setimpal bagi aparat yang melakukan tindakan represif dalam kericuhan tersebut.
No responses yet